KARDUS PENGIKIS RINDU



KARDUS PENGIKIS RINDU
By: Oktaviana NWD


M
alam semakin larut berada di tengah kota ditemani desiran angin yang berhembus menghantam tubuh sampai tulang. Menyentuh urat nadi yang terus berdenyut mengalahkan dinginnya malam. Melihat sibuknya bintang yang menghiasi langit. Mataku terpaku dengan suasana hiruk pikuk kota dengan berbagai macam tingkat sosial yang berbeda, telingaku mendengar ramainya suara kendaraan lalu lalang yang saling berebut atau bahkan sang pengendara yang juga sibuk mengambil hak para pejalan kaki malam itu. Aku melihat banyak orang berkumpul bersama keluarga, pemuda pemudi yang asyik bercengkrama dengan keromantisannya, para pedagang yang sibuk menjadi tulang punggung keluarganya, dan anak-anak kecil berlarian dengan senyum bahkan ketawa kecilnya ditemani balon ditangannya, serta teriakan anak kecil menangis dipelukan atau pangkuan ibunya. Mereka semua membuatku terlena dengan realita yang ada, namun ada satu hal yang membuat penglihatan, pendengaran bahkan lamunanku terhenti ialah, sosok perempuan yang malam ini duduk di sampingku. Dia adalah perempuan yang selalu menemaniku dari aku belum terlahir ke dunia sampai aku berusia 20 tahun saat ini. Dia adalah perempuan tangguh yang selalu ada saat aku suka dan duka, selalu ada saat aku mengalami tawa dan lara. Seluruh kisah dalam hidupku dia mengetahui segalanya. Apa yang aku sukai dan tidak, apa yang aku takuti dan apa yang membuatku berani. Keyakinanya padaku, doa-doanya untukku selalu menguatkan semangat, hati, dan setiap pijakan kaki dimanapun aku berada. Ya, dia adalah bunda. Saat ini aku memperhatikan beliau, dibawah cahaya bintang aku memperhatikan senyum dan tawanya yang selalu terlihat tegar padahal aku tau benar bahwa hatinya sedang kacau. Kerutan dibawah matanya sedikit terlihat menandakan bahwa usianya tidak lagi muda.
            Malam ini adalah malam terakhir aku duduk bersama bunda, sebab esok aku harus melanjutkan studiku dan aku pasti akan sangat merindukannya. Aku pasti rindu teriakan lembut bunda di pagi hari untuk membangunkanku saat aku kesiangan. Teriakan bunda yang mengingatkan aku untuk selalu sarapan. Aku akan merindukan marahnya apabila bunda tau aku sedang jajan sembarangan dan lupa untuk minum obat. Aku juga akan rindu akan nasihat-nasihat bunda tentang aku yang harus berhati-hati apabila ada lelaki yang mendekatiku. Nasihat bunda  yang selalu menenangkan saat ada lawan jenis yang menyakitiku, atau bahkan rindu beradu argumen dengannya tentang hal sepele seperti warna kerudung apa yang cocok untuk aku pakai, warna kaos kaki apa yang sesuai dengan warna bajuku, atau model baju apa yang cocok untuk ku pakai. Dan yang sangat aku rindu adalah pelukan bunda ketika aku menangis karena jenuh menghadapi dunia luar. Aku pasti akan sangat merindukan suasana itu.
“mbak, ayo pulang, besok biar ndak kesiangan”. Lamunan ku terhenti saat bunda mengajakku pulang.
“oh, iya bunda” kataku.
“semuanya sudah disiapkan benar-benar kan? Awas jangan sampai ada yang tertinggal” katanya. Aku hanya membalas dengan senyuman.
            Sesampainya di rumah, aku langsung berbenah diri. Mengganti baju, cuci muka, gosok gigi dan tak lupa cuci kaki, karena jika aku tak melakukan itu alamat alarm bunda pasti berbunyi dan aku tidak ingin alarm itu berbunyi nyaring. Saat aku hendak tidur, tiba-tiba uti (sebutan untuk nenek) masuk kamar dan berkata,”uti tidur disini ya”.
“loh, kok tumben ti? Kenapa?” kataku.
“ya, ndak kenapa-kenapa pingin tidur disini aja sama kamu” kata uti.
Akhirnya aku menganggukkan diri. Tanda bahwa aku menyetujui permintaan nenekku yang paling cantik. Selang beberapa menit kemudian bunda datang menghampiriku yang sedang ngobrol dengan uti.  Bunda menyerahkan sebuah kotak kardus berukuran sedang dan memintaku untuk membawanya.
Aku bertanya padanya,”apa ini bunda?”.
“ini sangu bunda untuk kamu, agar kamu tidak kebingungan” katanya.
“ah, bunda sudahlah semua barang sudah aku siapkan dalam koper dan tas kecil disitu. Anakmu ini tidak butuh apapun lagi” kataku sambil tersenyum”.
“bawa saja mbak” timpalnya.
“bunda, enggak perlu!” dengan nada sedikit kesal.
“yasudah mbak, istirahat” kata bunda sambil keluar kamar dan menutup pintu kamarku.
Aku merasa bersalah karena sudah berbicara seperti itu pada bunda. Ingin aku keluar kamar saat itu dan mengejar bunda serta meminta maaf. Namun, aku malu dan aku mengurungkan niatku.
            Keesokan harinya saat aku sarapan bunda datang dengan membawa kotak kardus itu lagi dan terus mendesakku untuk membawa benda itu.
“ini mbak dibawa, siapa tau nanti dibutuhkan sama mbak” katanya lagi.
“iya dibawa aja” timpal uti.
“engak usah bunda, enggak perlu uti! Semua barang sudah aku butuhkan dan yang aku perlukan sudah  ada. Tidak ada yang perlu aku bawa lagi bunda. Berat bunda. Berat. Apalagi itu pakai kardus kecil kayak gitu aku sulit bawanya. Tanganku hanya dua. Lagian apa sih di dalam kardus itu” omelku pada mereka.
Akhirnya aku beranjak meninggalkan mereka berdua, tanpa sengaja aku menyenggol kardus itu dan aku tidak mempedulikan akan hal itu.
            Saat semuanya selesai, akhirnya aku diantar bersama keluarga besarku. Selama perjalanan bunda hanya diam tidak seperti biasanya. Tidak ada nasihat-nasihat yang bunda berikan padaku selama diperjalanan. Bunda hanya diam, aku memberanikan diri untuk bertanya,”kardus yang tadi mana bunda? Eggak jadi dibawa?” kataku.
“untuk apa mbak nanya? kan mbak ndak mau bawa. Yasudah bunda simpan di rumah” katanya dengan nada sedikit cuek.
Aku merasa tak enak hati, aku merasa mengecewakan bunda.
“ayo putar balik, ambil kardusnya. Aku bawa” kataku.
“ndak perlu!” kata bunda.
“ayo pulang ambil kardusnya” pintaku.
“ndak perlu ambil barang yang ndak penting kalo ndak ikhlas mau bawa!” timpal bunda.
“ayo pulang, diambil, aku mau bawa” rengekku.
“gak usah!” katanya.
“ayo!” kataku.
“ndak usah, ndak usah diambil-ambil. Bunda dari kemarin maksa suruh bawa ndak dibawa. Sudah ndak usah! Kata bunda.
Aku tau bunda marah dan kecewa, tapi bunda tidak menunjukkan itu. Aku jadi semakin merasa bersalah dan terus merasa risau. “maafkan mbak bunda, mbak nggak bermaksud menyakiti bunda” dalam hati aku berguman.
            Setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, akhirnya tibalah saat perpisahan. Aku berpamitan pada semua keluargaku dan saat aku hendak mencium tangan bunda aku berkata,”bunda marah?” dan bunda hanya menjawab,”hati-hati”. bunda terlihat tak seperti biasanya hanya satu kata yang bunda ucapkan padaku. Aku membalikkan badan dan melangkah pergi walau ada perasaan sedih dalam langkahku.
            Suasana dalam kereta masih sepi belum banyak penumpang yang memenuhinya. Suasana pagi yang indah. Hijau hamparan sawah, para petani yang sibuk mencangkul. Menambah indah lukisan indah di pelupuk mataku. Smartphone ku bergetar, kulihat ada pesan masuk dari bunda berisi:
“hati-hati di kota orang. doa bunda selalu buat mbak. Jaga kesehatan disana, jaga diri baik-baik. Jangan mau diajak orang yang gak dikenal. Telpon bunda kalau ada apa-apa. Jangan sering nangis sendirian, telpon bunda jangan lupa. Sukses selalu untuk putri kecil bunda”.
Ingin rasanya aku turun dari kereta, berputar arah kembali ke pelukan bunda. Namun tak bisa kulakukan karena kereta ini terus melaju meninggalkan lambaian tangan perpisahan para penumpangnya.
            Perjalanan ini sungguh melelahkan, seharian penuh berada di kereta dan tibalah aku di kota Jogja. Setelah berbenah diri akhirnya aku merebahkan diriku di atas kasur untuk menghilangkan sedikit letih dan penat karena seharian di perjalanan. Setelah itu aku bangun dan melanjutkan mengemasi barang-barang dan memasukkannya ke dalam lemari. Saat hampir setengah barang ku masukkan  dalam lemari, aku melihat ada kardus kecil yang bunda pegang waktu itu. Aku penasaran ingin membukanya, namun tak kulakukan dan lebih memilih melanjutkan mengemasi barang-barangku. Hampir 4 jam membersihkan kamarku akhirnya aku memutuskan untuk membuka kardus itu. Saat aku membukanya aku sangat terkejut apa yang bunda isikan di dalamnya dan ada sepucuk surat berisi:
“mbak, selain doa yang bunda kasih buat mbak selama jauh dari bunda, semoga benda ini bisa bermanfaat buat mbak disana. Mungkin sekarang mbak ndak butuh, tapi bunda yakin besok-besok mbak pasti butuh benda-benda ini. Bunda bawakan satu mukenah lagi karena mbak hanya bawa satu nanti ketika mukenah itu kotor dan dicuci, mbak bisa pakai yang ini. Bunda juga bawakan tasbih, karena mbak lupa ndak masukkan tasbinya ke dalam tas kecilnya mbak. Bunda juga bawakan kaos kaki tidur buat mbak, karena bunda tau kalo mbak ndak bisa kedinginan. Walaupun mbak sudah pakai selimut kaos kaki ini sedikit membantu menghangatkan mbak. Ini bunda juga bawakan tambahan obat pereda nyeri. Kalo sakit mbak bisa minum, tapi ingat, mbak harus jaga diri baik-baik jangan terlalu sering minum obat dan jangan sampek bergantung sama obat. Lawan sakitnya mbak, bunda yakin mbak bisa melawan sakit itu. Bunda juga bawakan foto ayah, biar mbak selalu ingat untuk terus doakan ayah. Mbak mungkin udah gak bisa ketemu ayah, tapi lewat doa insyaallah bisa mendekatkan ayah dengan mbak. Jangan kecewakan ayah mbak, jangan putus berdoa untuk ayah. Kalo mbak rindu ayah sholat dan berdoa dan mbak juga bisa lihat foto ayah walau mbak ndak bisa lagi denger suaranya, liat senyumnya. Mungkin foto ini sedikit bisa membantu mbak mengurangi rindu mbak ke ayah. Bunda ndak bisa ngasih apa-apa untuk mbak selain doa. Udah ah sedihnya. Ini juga ada kecap manis pedes kesukaan mbak. Daripada mbak harus beli, bunda bawakan dulu. Nanti kalo kurang ya bisa beli sendiri. Bunda juga bawakan balsam buat mbak kalo malem ketika kakinya mbak sakit. Bunda titip mbak jaga kesehatan jangan makan sembarangan, jauhi makan saos biar ndak batuk.
Entah harus bahagia atau terharu, bunda mempersiapkan untukku. Bunda selalu yang terbaik. Bunda selalu tau apa yang aku butuh. Bunda, mbak selalu sayang bunda dan makasih kardus kecil ini akan selalu menemani hari-hariku disini untuk sedikit mengikis rinduku padamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNTUK KAMU

MUNGKIN BUKAN AKU

BUKIT RHEMA